“Tidakkah Engkau tergoda menjadi Ibu yang lewat rahimmu lahir dan tanganmu tumbuh orang-orang besar yang memaksa sejarah bertepuk tangan.” (Gamal bin Said)
Jika ada bangsa yang kuat maka di situ ada perempuan yang kuat, begitu pula dibalik keluarga yang bermartabat ada perempuan yang bermartabat pula. Di balik kesuksesan seorang laki-laki ada tangan dingin perempuan. Maka ketika akan membangun bangsa yang kuat yang harus terus dikuatkan salah satunya adalah perempuannya. Karena perempuan adalah calon Ibu , Ibu masyarakat dan Ibu bangsa.
Karakter seseorang terbentuk dalam proses pembudayaan yang dibina oleh keluarga pada umumnya, khususnya IBU. Oleh karena itu, perempuan harus diberi kemampuan dan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dalam membesarkan anak sejak lahir sampai selesai pendidikan sesuai, bakat dan pembawaannya untuk menjadi terampil, produktif dan bertanggungjawab. Demikian membentuk karakter pribadi unggul menurut Bapak Bangsa kita Bj. Habibie, dari Habibie tak boleh lelah dan kalah.
Umi madrasatun…demikianlah…slogan yang yang paling tepat diberikan kepada IBU. Mengapa “ IBU“ dalam bahasa Arabnya disebut dengan Umm. Dari akar kata yang sama dibentuk kata imam (pemimpin) dan ummat kesemuanya bermuara pada kata yang dituju atau yang diteladani, demikian maksud tafsir Quraish Shihab.
Ibu adalah guru kehidupan, ibu adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya, ibu adalah cahaya bagi keluarganya, ibu adalah manager keluarga, ibu adalah peletak dasar peradaban bangsa. Rasanya tak berlebihan bila sederet julukan ditujukan kepada sosok manusia yang disebut IBU. Tepatlah pada suatu waktu seorang bertanya kepada Rasulullah siapa yang harus saya taati setelah Allah dan Rasuln-Nya, ya Rasulullah? lalu jawab Rasullullah ibumu…ibumu…dan ibumu…
Maka banyak ulama besar yang terlahir dari perempuan-perempuan hebat, ingatlah bagaimana Imam syafii dibesarkan oleh ibunya yang selalu menjaga makanan yang masuk ke dalam perutnya atau kisah Said Nursi salah satu ulama Turki yang mempesona dunia , dilahirkan dari sosok ibu yang menjaga kesuciannya menjaga wudhu setiap saat. Sejak Nursi masih di kandungan. Sang ibu tidak pernah menginjakkan kaki di tanah sebelum dipastikan dalam kondisi berwudhu. Demikianlah bagaimana seorang ibu harus menjaga dirinya karena dari tanganlah akan terlahir manusia-manusia hebat pelaku sejarah dunia.
Ibu sebagai pencetak sejarah tentunya tidak hanya terbatas pada peran yang melahirkan anak-anak biologis dari perutnya namun yang tidak kalah pentingnya adalah anak-anak ideologis yang ada disekitarnya bahkan yang menjadi amanahnya untuk dididik, dipengaruhi, dan dilukis kelak menjadi penerus peradaban ini. Bahkan peran inilah yang sekarang ini harus diemban oleh setiap perempuan. Karena perempuan adalah guru masyarakat. Jangan sampai kita tidak ambil peran atas baiknya masyarakat sehingga masyarakat menjadi rusak dan tidak terdidik seperti yang sekarang ini kita saksikan .
Dari data Komnas Anak Indonesia, “Darurat Kasus Bunuh Diri Anak”, karena setiap tahun angkanya selalu meningkat, sampai tahun 2014 ada 89 kasus bunuh diri anak, bahkan yang memilukan dari 89 kasus itu terdapat pula anak-anak yang bunuh diri yang umurnya antara 5- 10 tahun. (Sindo News .Com, Selasa 20 Januari 2015). Sebab alasan bunuh diri itu, masih menurut Komnas Anak adalah kegagalan pendidikan di keluarga, orangtua cenderung selalu marah, tidak bisa dicontoh serta anak lebih dekat dan dididik oleh gadget dan TV.
Data remaja dan anak yang terkena narkoba meningkat dari 20 % menjadi 28 % atau 2.3 juta siswa dan mahasiswa terkena narkoba data pada tahun 2019, Padahal kalau milineal yang kena akan rentan penggunaan jangka panjang. Belum lagi anak-anak yang korban gadget , pornografi dan budaya asing , film-film Korean K-Pop, lagu-lagu ,yang lifestyle yang tidak mendidik dan sangat marak akhir – akhir ini. Serangan ghozzul fikri yang terkadang di luar perhatian para orangtua karena sibuknya bekerja. Kembali akar permasalahan dari kasus itu adalah keluarga dan disinilah pentingnya peran ibu dan peran perempuan sebagai pendidik masyarakat.
Anak-anak pada usia dini dan usia remaja yang merupakan usia penanaman aqidah dan akhlaq yang akan menjadi dasar kepribadian seorang muslim harus terwarnai dengan budaya–budaya asing yang jauh dari nilai-nilai Islam. Waktu mereka yang merupakan waktu usia belajar dan waktu untuk mendapatkan hak-hak bahagia sebagai seorang anak harus hilang dengan ditemani gagdet yang kalau tidak diarahkan oleh orang tua terutama ibu, akan terampas oleh serangan ghozulfikri ini.
Inilah pentingnya peran perempuan dan juga ibu, mau dan mampu mendidik masyarakat anak- anak biologis dan ideologis anak-anak di sekitar lingkungan kita yang harus diselamatkan dalam rangka menyiapkan generasi emas , peletak dasar peradaban. Mereka harus segera kita selamatkan kita didik dengan ilmu, yang dengan ilmu mereka akan berkembang, beramal, berkiprah dan melukis sejarah dalam perjalanan kebangkitan umat ini.
Setidaknya ada beberapa peran yang bisa diambil para perempuan dan ibu untuk menjadi gurunya masyarakat yakni:
- Ibu sebagai teladan
Anak, entah anak kita di rumah atau anak didik kita di sekolah dan para remaja di sekitar kita baik kita sadari atau tidak setiap hari bahkan setiap saat menjadi seorang observer yang handal terhadap segala sikap, prilaku serta tutur kata kita sebagai orang tua. Disinilah proses pembelajaran sedang berlangsung. Bila segala prilaku, sikap kita layak dicontoh maka anakpun mendapat sebuah pembelajaran model yang baik. Karena proses pembelajaran seperti ini (modeling) akan lebih efektif dibanding dengan verbal. sehingga di manapun, kapanpun, dengan siapapun senantiasa berusaha menampilkan yang terbaik dalam setiap kerja dan tindakan kita .
2. Ibu sebagai pengarah
Sebagai pengarah seorang kita diharapkan terus memahami, mengembangkan segala potensi dan kemampuan anak-anak kita. Untuk itu kontrol serta pengawasan harus senantiasa diupayakan. Setiap anak diciptakan Allah dalam keunikanya. Ini berarti setiap anak membawa segala potensi yang dimilikinya. Tidak ada anak yang bodoh. Tugas ibu adalah menumbuhkembangkan segala potensi yang dimiliki anak.
Howard Gardner dalam teorinya tentang kecerdasan ganda atau multiple inteligences mengatakan bahwa ada 9 kecerdasan yaitu kecerdasan logika, verbal, spacial, natural, personal, interpersonal, kinestetik, dan disempurnakan dengan kecerdasan spiritual. Kecerdasan itu tertanam dalam diri setiap anak. Setiap anak memiliki keunggulan. Ada satu atau dua dari kecerdasan itu yang sangat menonjol. Kita harus berusaha mengamati serta mengarahkan dari sekian banyak kecerdasan manakah kecerdasan yang mampu berkembang secara optimal sehingga potensi anak –anaknya terasah dan berkembang dengan lebih baik. Karena tujuan mendidik antara lain adalah mengarahkan potensi dan kecerdasannya hingga mampu berkembang lebih sempurna.
3. Ibu sebagai pendidik
Mendidik adalah sebuah proses panjang dan sangat komplek. Perlu seni untuk mendidik buah hati dan siswa atau santri kita. Dalam proses mendidik setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa dalam proses mendidik adalah sebuah transformasi spiritual atau ruhiyah.
Ini berarti seorang pendidik harus mampu memberi energi positif “keimanan“ kepada putra-putrinya. Seorang pendidik tidak akan mampu mentransfer iman yang baik manakala kita sendiri sebagai pendidik tidak terjaga iman dan hubungan transedental kita sebagai hamba Allah. Pendidik harus mempunyai hubungan yang dekat dengan Rabb-Nya. Apalagi tujuan mendidik diantaranya adalah menjaga kefitrahan seorang anak. Fitrah anak adalah mengenal Rabb-Nya, dan takut untuk berbuat dosa. Maka hal yang penting dalam mendidik adalah bagaimana anak-anak kita terjaga imannya, mempunyai hubungan baik dengan RabbNya dan terjaga segala aktivitas religinya.
Tranfer yang kedua adalah transformasi intelektual, atau tranformasi ilmu. Ini berarti seorang pendidik harus mampu memberikan pencerahan berfikir kepada buah hatinya. Pendidik harus mampu mengembangkan tingkat intelektualnya kepada putra-putranya. Pendidik harus mampu memotivasi putranya untuk senantiasa belajar dan belajar. Proses transfer ini bisa optimal manakala sang ibu atau sang pendidik juga menjaga tradisi belajarnya.
Transfer yang ketiga adalah tranformasi moral. Tranformasi ini berupa sikap dan prilaku. Terjadinya interaksi yang kuat antara ibu dan anak akan menjadi hal yang sangat efektif dalam membangun karakter anak. Proses mendidik seorang ibu yang dilakukan terhadap anak-anaknya mestinya syarat dengan penanaman nilai-nilai moral. Melalui kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap nilai serta prilaku positif akan terbentuk sebuah karakter positif. Begitu juga sebaliknya. Dan inilah pentingnya peran ibu dalam membentuk karakter seorang anak.
Adapun tranformasi yang keempat adalah tranformasi amal. Yakni sebuah tranformasi berupa amal-amal nyata. ini berarti seorang ibuatau pendidik harus banyak melakukan kerja-kerja riil yang langsung dapat dilihat buah hatinya. Bagaimana anak-anak kita mampu beribadah dengan benar ibu mencontohkan, mempunyai kepekaan sosial karena anak langsung ditemukan dengan orang-orang yang secara social butuh uluran tangan kita dan lain sebagainya.
4. Ibu sebagai Maraji’ ( tempat pengadu)
Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal yang dialami anak-anak. Pengalaman- pengalaman baik yang menyenangkan terkadang anak ada yang lebih suka diam diri, tetapi tidak sedikit anak-anak yang juga mengekspresikan dengan keluarga terutama ibunya. Akan tetapi ketika yang terjadi adalah pengalaman-pengalaman yang tidak baik, menyedihkan bahkan yang bisa membahayakan disilah pentingnya kehadiran ibu sebagai tempat pengadu.
Begitu juga yang terjadi dikalangan para remaja atau para santri di sekitar kita. Dengan hanya mendengarkan permasalahan apa yang dirasakan anak, anak sudah terkurangi bebanya dan mengurangi tingkat stressor yang sedang dialami anak. Gagalnya peran ibu sebagai tempat pengadu ini, membuat hubungan anak dan ibu berjarak, komunikai jadi tidak lancar, anak tidak percaya dengan ibunya, anak lebih percaya kepada orang lain dan hal ini membuka potensi adanya kenakalan remaja dan sejenisnya.
5. Ibu sebagai Penggembala
Seorang penggembala yang baik selalu memberi yang terbaik untuk ternaknya. Ia membawa ternaknya ke padang rumput yang hijau, ke telaga yang jernih, ia siapkan kandang yang baik, ia hitung ternaknya ketika memasuki kandangnya. Itulah ibarat ibu yang baik. Ibu selalu berusaha memberi makanan yang baik kepada putra-putranya. Makanan yang tidak hanya baik dan bergizi, tetapi juga halal. Ibu senantiasa mengecek, ada aturan yang jelas mikin perkapan boleh main dan meninggalkan rumah.
Demikianlah sedikit gambaran peran yang hendaknya dilakukan oleh seorang ibu atau pendidik masyarakat. Selamat berjuang, jadilah pintu kesuksesan bagi anak-anak kita. []
Penulis: Ustazah Elly Damaiwati, M.Pd (Kepala Kesantrian Putri PPTQ Ibnu Abbas)
Editor: Riki Purnomo, S.Sos.