“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah pernah ditanya, Siapaka manusia paling mulia? Beliau menjawab: Manusia paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Para sahabat bertanya, bukan tentang ini yang kami tanyakan. Rasulullah bertanya: apakah kalian bertanya tentang timbangan kualitas orang-orang Arab? Para sahabat menjawab: Iya. Rasulullah bersabda: orang yang terbaik diantara kalian di masa jahiliyah, dialah yang terbaik dalam Islam apabila mereka paham dengan agama.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits ini Rasulullah menyatakan tentang pengaruh ilmu dalam menentukan kualitas seseorang. Pemahaman yang baik tentang agama membuat seseorang menjadi lebih mulia dari pada orang yang lainnya.
Ketidakpahaman tentang agama pula yang kadang membuat orang sinis memandang agama, menganggap agama berbenturan dengan dasar negara, atau memahami bahwa agama adalah sumber kekacauan dan terorisme. Padahal kenyatannya tidak seperti itu.
Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia, semangat keislaman telah menjadi jiwa rasa nasionalisme dan mengalir dalam budaya dan keyakinan masyarakat. Semangat pancasila dan rasa keislaman menjadi penopang utama jiwa jihad bangsa Indonesia.
Bila Pancasila adalah pilihan nilai dan falsafah bangsa Indonesia, maka Islam adalah kumpulan nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila.
Baca Juga: Menahan Diri dan Mengontrol Emosi
Bila negara adalah institusi resmi yang berperan membangun “badannya”, maka Islam adalah perangkat kehidupan untuk membangun “jiwanya.” Kedua-duanya harus bersinergi untuk menuju Indonesia Raya.
Bila negara adalah kampung halaman dan ibu pertiwi yang harus dibela dengan jiwa dan raga, maka Islam adalah keyakinan yang juga harus dijaga dan dibela dengan sepenuh jiwa raga.
Rasa patriotisme para pahlawan yang berjuang perang dahsyat di Surabaya melawan juara perang dunia dua, yaitu Inggris, pada tanggal 10 November 1945, berakhir dengan kekalahan Inggris dan membuat mereka harus hengkang dari bumi Indonesia. Apakah rasa patriotisme bela negara itu berdiri sendiri? Jawabannya tidak. Semangat patriot itu menjadi semakin kuat ketika ada perintah wajib jihad dari para ulama se Jawa dan berharap mati syahid yang menjadi kemulian dari seorang muslim.
Artinya, seorang dapat menjadi sangat teguh dengan ajaran agama dimana pada saat yang sama ia bisa menjadi seorang sangat nasionalis. Sebab bagi seorang muslim Islam itu adalah cara pandang bagaimana ia hidup, termasuk hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Paling tidak, ada tiga bukti realitas bahwa ruh keislaman semakin menguatkan rasa nasionalisme dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu: sejarah bangsa, fakta sosial budaya, dan nilai universal Islam.
Nasionalisme Islam
Sejak abad ke 16, kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam melalui pranata-pranata sosial keagamaan dan budaya yang diciptakan oleh komunitas Islam Nusantara. Kesadaran keagamaan ini yang memunculkan nasionalisme Islam, yang berbeda dengan nasionalisme sekuler yang lepas dari agama.
Ketika kolonialisme datang dan menguasai persada nusantara, jiwa keislaman ini yang menggerakkan sikap penentangan terhadap penjajah. Kesadaran nasionalisme Umat Islam pada fase awal mengambil bentuk yang beragam, mulai dari perang fisik melawan kolonialisme, sikap anti kapitalisme, perjuangan mengembangkan identitas yang berbeda dari bangsa asing, serta peningkatan kualitas pendidikan, dan ekonomi masyarakat pribumi.
Hal ini bisa kita lihat dari konfrontasi langsung dengan pihak kolonialisme yang digerakkan oleh para raja, kiai, ulama, mursyid tarekat, serta santri-santri mereka.
Sebutlah di antaranya; Perang Ternate (1635-1646), Perang Makassar (1660-1669), Perang Trunojoyo (1675-1679), Perang Banten (1680-1682), dan perang antikolonial sejak akhir abad ke-18, ketika VOC bangkrut dan menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada pemerintah Hindia-Belanda. Pertempuran paling sengit dan kerugian besar bagi pihak Belanda adalah Perang Cirebon (1802-1806), Perang Palembang (1812-1816), Perang Paderi (1821-1838), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1859-1862), dan Perang Aceh (1872-1908).
Semua ini menjadi bukti bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme. Justru melalui rahim Islam, nasionalisme di Indonesia dapat tumbuh subur.
Dalam pergerakan modern menjelang kemerdekaan, paling tidak ada 3 institusi penting Islam yang paling menonjol, yaitu: Nahdhatul Ulama (NU) yang bergerak dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan pesantren, Muhammadiyah yang bergerak bidang sosial dan pendidikan, dan Syarekat Islam (SI) yang bergerak di bidang ekonomi dan politik. Dibandingkan dengan organisasi kedaerahan yang bersifat etnik, termasuk Budi Utomo (basis kepentingan priyayi Jawa), gerakan SI justru bersifat nasional.
SI telah berhasil menarik para pedagang, para pekerja di kota-kota, para kiai, dan bahkan sejumlah priyayi serta kaum tani dalam gerakan politik massal pertama di zaman penjajahan. Organisasi berskala nasional dan modern ini menghendaki pemerintahan sendiri oleh rakyat dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari penjajah. Hal ini menjadi bukti bahwa Islam berfungsi sebagai faktor integrasi, bahkan lebih jauh lagi menjadi akar dari nasionalisme dan pembentukan negara-bangsa di Indonesia.
Islam dan Sosial Budaya
Fakta sosial menunjukkan bahwa Islam adalah penduduk mayoritas di negeri ini, yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Meski negara Indonesia tidak berdasarkan syariat Islam, namun para pendiri bangsa ini sepakat bahwa Islam menjadi agen pemersatu, faktor integrasi bangsa, sekaligus menjadi spirit dan jiwa bangsa. Hal ini terbukti dan terpatri dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat Rahmat Allah” dan termaktub dalam sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang memperlihatkan bahwa keislaman Indonesia berdasarkan prinsip tauhid.
Secara kultur budaya, ajaran Islam telah menjadi sebuah hal yang tak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Beberapa provinsi di Indonesia bahkan menjadi ajaran Islam sebagai pondasi dari undang-undang adat setempat.
Di Aceh, misalnya, ada syiar, “Hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut” (Hukum Islam dan adat tidak mungkin dipisahkan, sebab hubungannya sangat kuat seperti hubungan benda dengan sifatnya)
Di Minangkabau, ada syiar, “Adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adat memakai” (Adat dan syariat saling mendukung, syariat memerintah adat melaksanakan).
Sementara di Gorontalo, tempat saya lahir dan tumbuh besar, kebudayaan Islam telah mengakar dalam kehidupan masyarakat sejak zaman yang silam. Syiar yang terkenal hingga saat ini adalah “Aadati hula-hula’a to Syara’a. Syara’a hula-hula’a to Kitabullah” (Adat bersendikan syariat. Syariat bersendikan Kitabullah).
Semangat keislaman dalam tradisi masyarakat Jawa jauh lebih kuat lagi. Wali Sanga (wali sembilan) atau Wali Tsana (wali yang mulia) diyakini menjadi guru utama dalam proses penyebaran Islam di tanah Jawa. Dakwah dan ibadah para wali dibalut oleh budaya Jawa. Misalnya di Masjid Agung Surakarta dan lainnya yang rutin mengadakan dalam upacara tradisional Gerebek Sekaten untuk memperingati maulid nabi, Gerebek Puasa setiap awal bulan syawal, Gerebek Besar setiap 10 Dzulhijjah, peringatan malam selikuran, pengajian purnamasidi, dan lain sebagainya.
Nilai Universal Islam
Nilai universal yang dibawa oleh Islam berupa amar makruf nahi munkar tidak hanya sekadar upaya memberantas prostitusi, miras, dan judi, atau mengajak ke shalat, infak, sedekah, puasa, umrah, dan haji. Lebih dari itu, juga sebagai upaya memberantas korupsi dan mafia peradilan, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, membela nasib buruh, tani, dan nelayan, menegakkan HAM, pembangunan ekonomi masyarakat, meningkatkan kualitas pendidikan, melestarikan lingkungan dan seterusnya.
Dengan melihat tiga fakta tersebut, kita bisa melihat bahwa Islam itu membawa masyarakat kepada nasionalis substantif, bukan nasionalis pragmatis. Itulah yang membuat kita semakin cinta kepada agama Islam, sekaligus cinta kepada tanah air Indonesia. Itu pula yang menjadikan kita semakin terpanggil untuk mendalami ajaran Islam yang mulia ini.[]
Penulis: Ustadz Umarulfaruq Abubakar, Lc. MHI. (Sekretaris PPTQ Ibnu Abbas)
Editor: Riki Purnomo, S.Sos.