“Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang orang yang diberikan kitab, benar-benar kalian menerangkannya (kebenaran) kepada manusia, dan janganlah menyembunyikannya di belakang punggung mereka dan mereka membeli dengannya (kitab-kitab itu) (dunia) harga sedikit, maka buruklah apa yang mereka beli.”(QS. Ali Imron: 187)
Ayat ini celaan terhadap ulama ahli kitab yang tidak amanah dalam menyampaikan kebenaran karena terperdaya oleh dunia. Maka sesatlah kebanyakan ahlul kitab karena kesesatan ulamanya.
Ulama (ahlul‘ilmi) menempati posisi strategis beragama, karena ilmu adalah imam dalam akidah dan amal. Allah swt. mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya tidak ada ilaah yang berhak disembah kecuali Dia,” (QS. Muhammad: 19). Kemudian di ayat lain: “Dan janganlah engkau mengikuti jejak apa yang engkau tidak punya ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungan jawaban,” (QS. Al Isra’: 36).
Beragama harus mengikuti ulama dalam pemahaman addin maupun pengalaman ilmu yang bersanad sampai kepada Rasulullah saw. Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Sanad itu bagian dari addin,- artinya jalur ilmu tentang al haq bagian dari addin-, maka hendaklah engkau melihat dari siapa engkau mengambil diin kalian.”
Hanya saja ulama juga diuji oleh Allah. Apakah mereka konsisten mengikuti ilmu mereka atau tergoda dengan hawa nafsunya dan menjadikan ilmunya untuk legitimasi hawa nafsunya? Atau mereka konsisten dengan ilmunya, walaupun harus menghadapi resiko dalam menegakkan kebenaran.
Sebagian Ulama ada yang tergelincir dalam kesesatan karena hawa nafsu dunia. Ia menjual iman dan ilmunya untuk kepentingan dunia. Ia juga menyembunyikan kebenaran untuk menjaga posisinya di dunia. Seperti yang dilakukan ahlu kitab, yang tidak mau menerangkan kebenaran kenabian Nabi Muhammad Saw, karena takut ditinggalkan pengikutnya. Sedang sebagian ulama ada yang konsisten dengan ilmunya, berpegang teguh dengan kebenaran walaupun menghadapi resiko siksaan orang orang kafir atau munafikin atau orang zalim dari penguasa muslim.
Syekh Utsaimin membagi ulama dalam konsistensi terhadap kebenaran menjadi tiga macam yaitu ulama millah, yaitu ulama yang mengikuti kebenaran ajaran Islam. Mereka konsisten dalam dakwah tauhid, syariah, amar makruf dan nahi mungkar. Walaupun terhadap penguasa, mereka tidak mengikuti kemauan penguasa maupun publik yang berlawanan dengan Islam. Prinsipnya mereka membimbing umat, rakyat maupun penguasa dengan Islam.
Kedua, ulama ummah yaitu ulama yang mengikuti kemamuan umat, yang penting baginya umat senang dan puas. Mereka memberikan fatwa berdasarkan kepuasan publik, walaupun berlawanan dengan kebenaran. Hal itu karena mereka mengharapkan harta.
Ketiga ulama daulah atau siyasah, yaitu ulama yang menjadi stempel penguasa, mendukung kebatilan penguasa, dan melegitimasi penguasa. Bahkan menjilat penguasa untuk mendapatkan kedudukan dan fasilitas dunia. Ulama yang benar adalah ulama millah yang mengikuti millah Ibrahim a.s. dan dengan Islam.
Allah menerangkan jenis ulama yang benar dan ulama yang buruk, agar kaum muslimin bisa memilah ulama yang harus dijauhi maupun yang diikuti. Allah berfirman tentang ulama yang harus diikuti: “Sesungguhnya tiada lain yang takut kepada Allah adalah ulama.” (QS. Fatir: 28)
Ayat di atas menjelaskan bahwa ulama adalah yang takut kepada Allah. Ulama juga yang menegakkan amar makruf dan nahi mungkar. Dalam ayat lain dikatakan: “Mereka tidak takut cercaan orang yang mencela.” Dan inilah baiat para sahabat kepada Rasulullah: “Dan kami takut dalam dakwah dan jihad hanya kepada Allah, bukan celaan orang yang mencela.”
Di sisi lain Allah menerangkan satu gambaran ulama suu’ yaitu yang mengikuti hawa nafsunya dan mengejar dunianya dengan ilmunya. Allah berfirman : “Dan bacakan kepada mereka berita orang yang Kami berikan kepada mereka ayat-ayat Kami, lantas mereka melepaskan diri darinya, maka mereka dijadikan mengikuti setan , maka jadilah ia orang yang sesat. Kalaulah Kami menghendaki niscaya Kami angkat dia, akan tetapi dia lebih memilh terperosok ke bumi, lantas mengikuti hawa nafsunya. Perumpamaanya adalah seperti anjing, kau dorong mereka, menjulurkan lidahnya, atau Engkau tinggalkan mereka tetap menjulurkan lidahnya. Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka ceritakan kisah itu agar mereka berpikir.” (QS. Al A’raf: 175-176)
Ulama suu’ merupakan pengikut hawa nafsu, budak kekuasaan dan penguasa, hinhga ambisius terhadap jabatan. Bahkan dampak kerusakan terhadap masyarakat sangat luas dan merata. Mereka melegitimasi segala kezaliman, kesesatan dengan dalil yang dipalsukan. Oleh karena itu, umat tertipu dan melihat kezaliman sebagai sesuatu yang legal.
Ciri ulama suu’ pada zaman fitnah ini semakin mudah kelihatan, yaitu mereka yang tidak jelas sikapnya terhadap kemungkaran. Padahal hal itu jelas terpampang di pelupuk mata. Misalnya membiarkan kekuatan politik sekarang yang mendukung komunis, liberal, sekulerisme, merusak tatanan ekonomi, dan mendukung dominasi asing yang sangat mengancam eksistensi negara dan bangsa. Sehingga di sisi lain diperlukan politik Islam yang bertujuan menegakkan keadilan dan kebenaran dengan kekuatan hukum dan kekuasaan, menyelamatkan negara dari kekuasaan orang-orang kafir, munafik, fasik yang kalau dibiarkan akan menghancurkan negara dan bangsa. Oleh karena itu, ulama rabbaniyyin harus segera melakukan nahi mungkar dan taghyiir (perubahan) menuju yang makruf. Hal itu dengan menyerahkan kekuasaan yang tunduk kepada syariah dan mau dibimbing oleh ulama millah.
Di zaman fitnah ini, ulama suu’ tampak pada dukungan mereka, yakni lebih condong kepada orang-orang zalim. Mereka juga mendukung dan melestarikan kekuasaan orang-orang zalim. Dalam hal ini, Allah memvonis munafik orang yang loyalitasnya diberikan kepada orang kafir. Allah berfirman: “Berikan kabar gembira orang munafik bahwa bagi mereka adzab yang pedih, yaitu orang-orang menjadikan orang kafir sebagai wali, apakah mereka mencari kekuatan, kemuliaan di sisi orang kafir itu? Maka sesunggahnya semua kemuliaan hanya milik Allah.” (QS. An-Nisa: 138-139) []
Penulis :KH. Dr. Muh. Mu’inudinillah Basri, MA. (Direktur PPTQ Ibnu Abbas Klaten)
Editor: Riki Purnomo, S.Sos.
Satu tanggapan pada “Dua Jenis Ulama yang Wajib Diketahui”