G
N
I
D
A
O
L

Menahan Diri dan Mengontrol Emosi

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya perumpaman antara aku dan badui ini seperti seorang laki-laki yang memiliki unta. Unta itu terlepas darinya lalu dikejar oleh orang-orang. Maka unta itu pun semakin kencang berlari. Si pemilik unta pun berkata, biarlah aku yang mengurusi unta ini. Aku lebih sayang dan mengerti tentang dia. Pemilik unta itu mendekati unta sambil membawa rerumputan. Ia memanggil unta, dan unta itu pun mendekat kepadanya. Lalu ia mengikat unta itu dengan kuat dan mampu menguasainya. Sungguh, bila aku menaati kalian ketika berucap apa yang kalian ucapkan, sungguh ia pasti akan masuk neraka.(H.R. Al Bazzar)

Kata-kata ini diucapkan oleh Rasulullah di hadapan para sahabat, saat ada seorang badui yang berlaku tidak pantas di hadapan Rasulullah sehingga memancing amarah mereka. Orang badui datang-datang meminta sesuatu kepada Rasulullah. Beliau pun segera memberinya.

Setelah itu Rasulullah bertanya, “Apakah aku sudah berbuat baik kepadamu?”

Bukannya berterima kasih dan mengakui pemberian orang lain, orang badui ini menjawab dengan ketus,“Tidak, sama sekali”

Para sahabat marah dan berdiri menuju ke arahnya. Hampir-hampir mereka memukulnya jika tidak dicegah oleh Rasulullah. Beliau bahkan berdiri dan mengambil sesuatu dari dalam rumahnya dan memberikan tambahan hadiah untuk badui yang kasar ini. Setelah itu Rasulullah bertanya lagi, “Apakah aku telah berbuat baik kepadamu?”, “Ya, semoga Allah membalasmu dan keluargamu dengan kebaikan”

Baca Juga: Dua Jenis Ulama yang Wajib Diketahui

Di lain waktu, ada orang badui yang kencing di dalam masjid. Para sahabat berdiri hendak memukulnya. Tapi Rasulullah mencegah mereka, menyuruh untuk membiarkannya menunaikan hajatnya sampai tuntas, kemudian meminta sahabat untuk membersihkan bekas kencingnya dengan air lalu beliau menasehati orang badui tersebut.

Ketika ada pemuda yang meminta izin untuk berzina, para sahabat tidak bisa menahan diri. Bagaimana pun zina adalah perbuatan yang bejat, sekarang pemuda ini malah terang-terangan meminta izin untuk melakukannya. Tetapi Rasulullah bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan menakjubkan.

Alangkah damainya batin Rasulullah, dan alangkah tenangnya beliau dalam menghadapi masalah yang ada. Ketenangan ini yang menjadikan orang yang bersama beliau tidak pernah merasa terancam, tetapi merasa aman dan terlindungi.

Ketenangan adalah indikator keutuhan, integritas, keseimbangan dan kestabilan emosional, serta pengendalian diri yang baik. Sebaliknya marah adalah isyarat lepasnya keseimbangan jiwa dan hilangnya pengendalian diri. Marah merupakan gangguan emosi yang paling merusak ketenangan dan kenyamanan suasana jiwa, membuyarkan konsentrasi, mengeruhkan kejernihan pikiran, mengurangi fungsi akal, dan menyedot banyak energi jiwa.

Setelah marah, kita perlu banyak waktu untuk memulihkan suasana pikiran, dan mengembalikannya kepada ketenangan hati semula. Perlu banyak waktu untuk menormalkan jiwa sehingga dapat bekerja kembali dengan semangat, nyaman, dan penuh konsentrasi. Marah benar-benar sangat melelahkan batin kita.

Sangat manusiawi kalau kita marah saat melihat kenyataan ternyata tidak sesuai harapan. Rasulullah pun pernah marah. Tetapi marah yang tidak terkendali dan disebabkan hal hal yang remeh temeh, hanya akan menjadi virus sosial yang dapat merusak komunikasi dan interaksi.

Menghadirkan Ketenangan dan Mengontrol Emosi

Untuk menghadirkan ketenangan jiwa, paling tidak ada tiga hal yang perlu kita lakukan:

Pertama, menjaga agar suasana hati dan pikiran kita dalam kondisi yang enak dan nyaman, dengan cara memproteksinya dari berbagai gangguan emosi, seperti marah, sedih, takut, dendam, dan yang lainnya. Secara umum, setiap gangguan emosi yang kita alami akan mengurangi tingkat ketenangan jiwa kita.

Kedua, menjauhkan diri dri berabgai perilaku dan kebiasaan yang dapat mengeruhkan suasana jiwa, seperti banyak bicara, mencari perhatian orang, dan melakukan maksiat. Perilaku dan kebiasaan itu berdampak negatif bagi suasana jiwa

Ketiga, fokus kepada hal hal besar dan tujuan utama, sehingga konsentrasi kita teralihkan oleh hal hal yang sebenarnya tidak penting dan sangat mungkin untuk kita atasi.

Pada prinsipnya, apapun yang terjadi, jangan sampai merusak kedamaian batin kita. Sebab kedamaian batin adalah sumber lahir-lahirnya seluruh pikiran dan tindakan positif dalam hidup.

Sikap kasar tidak boleh dibalas dengan kekasaran yang sama. Kemarahan tidak boleh dibalas kemarahan. Kalau tidak, yang terjadi adalah api yang membara dan semakin membesar. Orang-orang lari dari sekitarnya dan dakwah pun akhirnya gagal.

Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah. Dalam keadaan dihina dan dicaci maki oleh orang lain, bahkan diteror dan disakiti beliau mampu menjaga ketenangan diri beliau. Fokusnya adalah dakwah, fokusnya adalah membawa manusia ke jalan Allah.

Ketika Terpaksa Marah

Bagaimana kalau terlanjur marah dan emosi kita terganggu? Rasulullah mengajarkan empat hal yang bisa perlu kita perhatikan;

Pertama, mengubah posisi.

Ketika kita marah dalam keadaan berdiri, hendaklah kita duduk. Ketika marah dalam keadaan duduk, hendaklah berbaring. Perubahan sirkulasi ketika darah, ternyata memberikan banyak pengaruh dan menurunkan amarah dan menguatkan pengendalian diri.

Kedua, segera berwudhu

Orang yang marah, ia berada dalam pengaruh setan. Hawa nafsunya menjadi jinak dan sangat mudah dipengaruhi oleh setan. Api amarah itu mampu dipadamkan oleh dinginnya ari wudhu. Siapa yang marah, maka hendaklah ia segera berwudhu

Ketiga, segera berta’awudz.

Saat berada dalam pengaruh hawa nafsu, segeralah mengucapkan a’udzul billahi minasy syaithanirrajim, aku belindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Kita berusaha melakukan terapi sendiri atas pengaruh pengaruh negatif yang sudah menjalar kemana, bahkan bisa merusak jiwa.

Keempat, berusaha untuk diam.

Ketika kita marah, hendaklah tidak memutuskan apapun, tidak bertindak sebagai hakim, menahan diri untuk tidak berkata-kata. Sebab saat itu akal pikiran sedang hilang, sementara diri dipenuhi oleh hawa nafsu. Keputusan yang diambil saat marah banyak melahirkan penyesalan. Setelah marah reda barulah kita menyesal dan kecewa karena terlanjur melakukan kesalahan.

Menghadapi anak-anak, para murid, dan banyak orang, kadang membuat amarah tersulut, lalu kita pun terpancing melakukan hal-hal yang kontra produktif. Inginnya mengajak, malah mengejek. Inginnya merangkul, malah memukul. Baik secara fisik, maupun psikis. Maka objek dakwah bukan semakin, tapi malah semakin jauh.

Maka diamlah, bacalah taawudz, ubah posisi, lalu segera berwudhu. Kemudian baru kembali pikirkan dengan jernih apa yang harus kita lakukan.[]

 

Penulis: Ustadz Umarulfaruq Abubakar, Lc. MHI. (Sekretaris PPTQ Ibnu Abbas)
Editor: Riki Purnomo, S.Sos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *